-->

BEKERJA UNTUK DUNIA DAN AKHIRAT

Bekerja mencari nafkah merupakan perbuatan tepuji. Bahkan Islam menempatkannya sebagai bagian dari ibadah. Tentu jika kerja yang dimaksud dilakukan sesuai tuntunan syariah. Seorang muslim diwajibkan berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Mereka tidak boleh bermalas-malasan dan menggantungkan hidup kepada orang lain. Islam sangat menghargai kemandirian sebab dengan kemandirian akan tumbuh kewibawaan dan terpeliharanya harga diri.

Rasulullah menasihatkan, “Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian dia membawa seikat kayu di punggungnya dan menjualnya, sehingga dengan itu Allah menjaga dirinya, maka yang demikian itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, yang terkadang memberinya dan terkadang menolaknya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam Islam, tujuan dari kerja tidak sebatas mencari kebahagiaan dunia saja. Namun juga harus berorientasi untuk kehidupan akhirat. Untuk itu dalam bekerja seorang Muslim perlu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan dalam Alquran dan Assunah. Dr. Yusuf Qardhawi memaparkan kaidah umum tentang bekerja yakni, “Islam tidak memperbolehkan putra-putrinya mencari kekayaan dengan sekehendak hatinya dan dengan jalan apa pun. Akan tetapi Islam membedakan buat mereka jalan-jalan yang dibenarkan syari’at dan yang tidak dibenarkan syari’at di dalam mencari penghidupan, dengan memperhatikan kemaslahatan umum.”

Sebagai agama paripurna dan paling sempurna, Islam juga mengatur dan mengarahkan bagaimana seorang Muslim bekerja. Agar hasil kerjanya dapat memberi hasil maksimal sekaligus menjadi tabungan amal shaleh. Dalam sebuah hadits disebutkan pahala orang yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah.

Beberapa poin yang perlu diperhatikan agar hasil kerja kita bisa mendatangkan kebaikan di dunia maupun di akhirat antara lain:

1. Bekerja dengan landasan iman. Tidak dapat dibantah bahwa iman menjadi bagian fundamental (terpenting) dalam setiap aktifitas Muslim. Keimanan akan menumbuhkan sifat-sifat positif, semangat dan etos kerja yang tinggi. Dan yang pasti hanya dengan landasan iman amal yang kita lakukan balasan dari Allah, “Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (QS. Thaahaa [20]: 112)

2. Ikhlas dan menjadikan Allah sebagai tujuan. Disebutkan dalam berbagai riwayat, di akhirat kelak banyak amal catatan manusia yang ditolak sebab dikerjakan tidak murni karena Allah. Amal yang baik menurut padangan Islam tidaklah cukup hanya sempurna secara dzahir saja. Tetapi menuntut pula kesempurnaan secara batin yang berupa keikhlasan dalam pelaksanaannya.

Ridha Allah harus menjadi tujuan utama dalam bekerja. Keikhlasan sangat besar pengaruhnya dan akan mendorong terciptanya akhlak yang baik, hati yang bersih, terbebas dari penghambaan kepada selain Allah (harta, jabatan, dsb). Serta mencegah timbulnya penyakit hati seperti ujub, takkabur dan riya’ terhadap hasil yang dicapai.

Untuk menghadirkan keikhlasan memang tidak mudah. Perlu kemauan keras dan usaha terus menerus. Salah satunya dengan senantiasa menghayati kembali firman Allah yang kita baca setiap hari, ‘iyya kan’ budu wa iyya ka nasta’in’. “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)

3. Memperhatikan prinsip-prinsip Islam.

Dalam Alquran dan Hadits banyak dijelaskan aturan bagaimana seorang muslim bekerja di antaranya harus dimulai dengan niat yang baik, menjunjung kejujuran, kedisplinan, tidak merugikan orang lain, teliti, tidak tergesa-gesa dan sebagainya.

Tidak kalah pentingnya seorang Muslim memilih pekerjaan yang baik meskipun sulit. Kesempatan kerja yang terbatas membuat banyak orang menempuh segala cara demi mendapatkan pekerjaan. Salah satunya dengan praktek suap-menyuap. Namun, seorang Muslim harus tetep selektif. Pekerjaan yang baik dan halal lebih disukai meskipun hasilnya sedikit. Keberkahan rizki tidak terletak pada banyak dan sedikitnya hasil yang diperoleh namun lebih kepada bagaimana rizki itu diperoleh dan untuk apa dibelanjakan.

Allah berfriman, “Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.’" (Al-Maidah [5]: 100)

Dr. Yusuf Qardhawi memaparkan di antara prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram. Segala sesuatu pada dasarnya mubah kecuali ada dalil yang melarang. Apa yang membawa kepada yang haram adalah haram. Niat yang baik tidak dapat menghalalkan yang haram. Menjauhkan diri dari yang syubhat untuk menjaga diri.

Untuk itu janganlah kita semata-mata mengukur keberhasilan kerja dari banyaknya harta yang diperoleh atau tingginya kedudukan yang kita raih. Semua itu kelak tidak akan berguna saat kita di hadapan Allah, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu, tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR. Muslim)

Untuk itu marilah mulai saat ini kita mengukur hasil kerja kita dengan merasakan seberapa ikhlas kita dalam menjalaninya serta berapa besar manfaat bagi orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak berguna bagi orang lain.

Semoga hasil kerja kita mempunyai nilai di sisi Allah. Sehingga kita bisa mernggapai tujuan hidup yang senantiasa kita minta. Fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Bahagia dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal ‘alamin.

LihatTutupKomentar