-->

Waspadalah Saat Marah

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’” (Al Anbiyaa' [21]: 87)

Sahabat. Kondisi jiwa yang labil kerap kali membuat kita cepat meluapkan kemarahan. Apalagi jika ada pemicu sekaligus tempat untuk melampiaskannya. Marah adalah sebuah hal yang manusiawi dan setiap orang memiliki derajat kemarahan yang berbeda. Ada seorang yang cepat marah tetapi juga cepat reda, ada orang yang tidak mudah marah, tetapi jika marah akan sulit untuk diredam dan memerlukan waktu yang lama. Ada pula orang yang tidak mudah marah dan bila marah cepat reda. Tetapi yang paling ditakutkan adalah orang yang mudah marah dan sulit untuk diredam. Hingga terkadang kemarahan itu bertahan berhari-hari, bahkan sampai bertahun-tahun.

Saat seseorang marah, sebetulnya syaitan sedang berkuasa atasnya. Menumpulkan akal pikiran, mengendalikan penglihatan, pendengaran dan menjadikan ucapan lisan tidak lagi terkontrol. Cacian, makian dan umpatan yang kotor dengan mudah akan terucap saat seseorang dalam kondisi marah. Bahkan mungkin sumpah serapah yang buruk. Maka Rasulullah menasihatkan agar kita dapat menjauhi sikap marah ini karena berbagai kerugian dan keburukkan yang ditimbulkannya.

Sifat amarah juga kerap membuat seseorang kehilangan sikap adilnya dalam melakukan suatu tindakan. Berkenaan dengan ini, Lukman menasihatkan kepada puteranya, “Jika engkau ingin menjadikan seseorang sebagai saudara, maka buatlah ia marah. Jika ia bisa bersikap adil kepadamu sedangkan ia dalam keadaan marah, maka itulah saudaramu. Namun jika tidak, maka waspadalailah dia.”

Meredam kemarahan dapat membentengi kita dari godaan syaitan dan menjaga perilaku yang berada di luar kendali diri kita. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah suatu ketika pernah dimintai nasihat oleh seorang lelaki, “Berilah aku nasihat” Kemudian Rasulullah bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu kemudian mengulang-ulang lagi pertanyaannya, dan Rasulullah tetap memberi nasihat yang sama.

Kemarahan menghalangi kejernihan kalbu, dan memadamkan cahaya kasih sayang. Orang yang sedang marah seolah-olah dia hanya berpikir untuk dirinya sendiri, dia tidak peduli lagi dengan orang lain. Efek buruk dari kemarahan sangatlah banyak untuk disebutkan. Seorang pemarah akan dijauhi oleh teman-temannya, terurainya jalinan silaturahmi dan yang lebih berbahaya adalah ketika kemarahannya itu mengundang murka Allah.

Lalu untuk apa menjadi pemarah? Apa untungnya menjadi pemarah?

Sahabat. Lebih baik, jika kita berusaha menumbuhkan sifat pemaaf karena pemaafan itu tidaklah mengurangkan wibawa dan menghilangkan kemuliaan seseorang tapi justru sebaliknya.

Rasulullah bersabda, “Bersedekah tidak mengurangi harta. Senang memaafkan akan membuat seorang hamba diberi kemuliaan yang lebih tinggi oleh Allah. tidaklah seseorang bertawadhu’ karena Allah kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)

“Tidak ada seorang pun yang dizalimi lalu dia memaafkannya karena Allah, kecuali Allah akan menolong dan memuliakannya.” (HR. Ahmad)

Ingatlah akan besarnya pahala yang telah disediakan Allah bagi orang-orang yang mampu menahan diri dari amarahnya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menahan amarah padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat kemudian memintanya untuk memilih bidadari yang ia inginkan.” (HR. Ahmad)

Rasulullah, pernah menyuruh agar seseorang memaafkan budaknya atau pelayannya setiap hari sampai tujuh puluh kali.

Suatu ketika ada seorang yang menemui Rasulullah kemudian dia bertanya, “Wahai Rasulullah berapa kali kita harus memaafkan kesalahan pembantu?” Nabi hanya terdiam. Orang tersebut mengulangi pertanyaannya dan Nabi tetap diam, setelah bertanya untuk yang ketiga kalinya Nabi bersabda, “Maafkanlah pembantu tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam sabda yang lainnya dikatakan, “Jangan memukul budak perempuanmu hanya karena dia memecahkan barang pecah-belahmu. Sesungguhnya barang pecah-belah itu ada waktu ajalnya seperti ajalnya manusia.” (HR. Abu Na’im dan Thabrani)

Pribadi mulia itu bukan hanya memberikan nasihat lewat sabdanya tetapi juga memberikan teladan lewat tingkah lakunya sehari-hari. Anas bin Malik, yang bertahun-tahun menjadi pembantu beliau menjadi saksinya.

“Aku pernah menjadi pelayan Nabi selama sepuluh tahun. Tidak pernah sama sekali beliau mengucapkan ‘hus’ kepadaku. Beliau tidak pernah membentakku terhadap sesuatu yang aku kerjakan, (dengan ucapan) ‘Mengapa engkau kerjakan begini!’. Dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak aku kerjakan (dengan ucapan) ‘Mengapa tidak engkau kerjakan!’” (HR. Bukhari)

‘Aisyah, isteri tercintanya pun memberi kesaksian. “Beliau bukanlah orang yang suka mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak pula suka ikut-ikutan senang mengucapkan kata-kata kotor. Beliau tidak suka berteriak-teriak di pasar, tidak pula membalas kejelekan dengan kejelekan, akan tetapi beliau lebih suka memaafkan lahir dan batin.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

‘Aisyah juga menceritakan, “Rasulullah tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya, baik kepada isterinya ataupun kepada pembantunya, kecuali jika beliau sedang berjihad fi sabilillah. Ketika beliau dihina beliau tidak pernah membalas, akan tetapi jika larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau akan menghukum orang tersebut karena Allah.”

Kedudukan yang tinggi, dan posisi yang di atas orang lain sering kali membuat seseorang melampiaskan kemarahan kepada bawahannya dengan mudah. Seorang suami begitu mudah memarahi isterinya, seorang guru memarahi muridnya, seorang tuan memarahi pembantunya.

Sahabat. Mungkin kita pernah berpikiran, bahwa dengan kemarahan akan menaikan wibawa kita, dan menjadikan orang lain lebih hormat kepada kita. Namun yang sesungguhnya terjadi bukanlah seperti itu, kemarahan hanya akan menumbuhkan kebencian di hati orang lain dan bisa jadi itu akan terus bertumpuk-tumpuk menjadi dendam. Kemarahan berbeda dengan ketegasan, karena kemarahan lebih condong kepada pelampiasan emosi, sedangkan ketegasan adalah cerminan dari kokohnya sikap.

Memadamkan Api Kemarahan

Dalam sabda-sabdanya Rasulullah telah memberikan berbagai cara yang harus dilakukan jika kita dihinggapi rasa marah.

Pertama, diam. Kemarahan yang dituruti dengan perkataan akan menyebabkan ucapannya tidak lagi dapat dikendaliksn sehingga sangat mungkin ucapan-ucapan yang buruk akan terlontar dari lisan kita. Satu ucapan yang keluar bisa jadi akan memancing jawaban orang yang kita marahi sehingga kita terpancing untuk mengeluarkan kata-kata balasan yang lebih jahat. Dan itu akan terus diikuti dengan ucapan-ucapan buruk lainnya.

“Jika salah seorang dari kalian marah, maka diamlah.” Beliau mengucapkannya sampai tiga kali. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Kedua, dengan mengubah keadaan diri kita. Jika kita marah dalam kondisi berdiri, maka duduklah. Apabila belum juga meredakan marah, maka berbaringlah. Tentang ini Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam kondisi berdiri, maka duduklah. Bisa jadi dengan itu marahnya hilang. Jika tidak, hendaknya ia berbaring.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Dzar al Ghifari)

Ketiga, berwudhu’. Basuhan air wudhu akan dapat memadamkan api kemarahan yang ditimbulkan oleh syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu tercipta dari api. “Sesungguhnya marah itu timbul karena syaitan. Dan sesungguhnya ia diciptakan dari api, sedang api dapat dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang kalian marah, maka berwudhulah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Keempat, membaca ta’awudz. Mohonlah perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk, karena saat kita dalam perlindungan Allah, tidak ada satu pun makhluk yang dapat memberikan kemudharatan kepada kita, termasuk syaitan yang terkutuk. “Sungguh aku mengetahui sebuah kalimat, sekiranya ia mengucapkannya, tentu akan sirna apa yang ia dapati pada dirinya. Yaitu jika marah, mengucapkan: ‘audzubillahi minassyaithan nirrajim.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)

Ingatlah juga akan janji pahala yang telah disediakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sanggup menahan diri dari amarah. Mereka akan diberi berbagai kebaikan dan kemuliaan.

“Tidaklah seorang menahan amarahnya karena Allah, kecuali Dia akan memenuhi hatinya dengan iman.” (HR. Ahmad)

“Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba karena sifat maafnya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim)

Sahabat. Orang yang kuat bukanlah orang yang berbadan kekar dan selalu menang dalam berbagai pergulatan. Tetapi Rasulullah mengatakan bahwa orang yang kuat adalah mereka yang mampu tetap mengendalikan diri ketika marah. “Orang yang kuat dalam bergulat bukanlah disebut orang yang kuat, tetapi yang disebut orang yang kuat adalah orang-orang yang mampu mengekang dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari)

Kemarahan dan tindakan yang emosional seringkali memerangkapkan kita dalam kondisi yang buruk. Karena kita tidak lagi dapat menggunakan akal pikiran dan hati nurani. Yang kita pikirkan hanyalah sesaat saja, tanpa berpikir jauh tentang akibat yang akan didapatkan. Maka tidak heran jika ada sebagian orang yang tega membunuh orang lain, saudara bahkan orang tua atau anaknya sendiri lantaran masalah yang sepele. Karena setan telah menguasai mereka saat marah, dan tidaklah setan itu mengajak manusia melainkan kepada perbuatan dzalim.

Sahabat. Selagi nafas masih berhembus dari dada, selagi urat masih berdenyut mengalirkan darah, ruh masih bersemayam dalam jasad kita, mari kita bersegera menuju ampunan Allah dengan senantiasa berbuat kebajikan dan menjauhi perbuatan buruk, termasuk amarah.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali 'Imran [3]: 133-134)

Semoga Allah menggolongkan kita ke dalam golongan hamba yang mampu menahan diri dari amarah, baik ketika mampu melampiaskannya maupun tidak. Sehingga itu semua bisa menjadi jalan menuju derajat takwa. Aamiin.

Wallahua’lam bishawwab

LihatTutupKomentar