Barangkali dari sekian banyak aneka profesi di dunia ini, pengarang atau sastrawan paling luas jangkauannya. Dia tidak terbatas pada suatu bidang atau dua saja dari suatu bidang kehidupan, tetapi seluruh kehidupan adalah wilayah pengarang. Baik pengarang puisi atau prosa. Wilayah pengarang bukan saja berkaitan kehidupan manusia namun juga kehidupan lain seperti hewan, pepohonan, atau dunia lain di luar kehidupan manusia. Begitulah paparan Moctar Lubis, wartawan sekaligus sastrawan nasional.
Ya, mengarang bisa menjelajahi wilayah mana saja, karena ia berupa imajinasi. Dan imajinasi manusia terkadang melampuai batas realitas yang bisa dipahami dengan panca indera. Tetapi itu sah-sah saja bagi seorang pengarang. Jenis karya imanijinatif atau lebih dikenal dengan fiksi berasal dari kata fiction yang berarti membentuk, membuat, mengadakan dan menciptakan. Bentuknya karyanya bisa berupa puisi, dongeng, cerita pendek, drama, novel atau roman.
Bagi pengarang muda perlu diperhatikan untuk terus belajar agar lebih mudah dan berhasil. Seperti disampaikan Achmad Munif, mantan wartawan yang menjadi novelis, cukup terkenal di Yogyakarta. Dia memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang yang akan memasuki dunia kepengarangan. Unsur penting tersebut antara lain berupa realitas.
Realitas merupakan fakta keseharian yang bisa dijumpai setiap saat. Realitas adalah kenyatan yang tidak dapat dipalsukan. Merupakan bahan dasar bagi penulisan berita oleh wartawan. Atau dapat pula dijadikan bahan dasar penulisan fiksi dengan terlebih dulu melalui proses imajinasi dalam diri pengarang.
Misalnya, di kampung kita ada seorang penjual kue yang berkeliling kampung setiap pagi. Itu merupakan realitas. Dapat dijadikan cerita tetapi harus diubah dulu agar lebih menarik, dengan menambah keterkaitan, konflik dan semacamnya. Tetapi bila dipaparkan apa adanya pasti tidak akan menarik, kita perlu memberi ‘bumbu’ sehingga layak disebut sebagai karya fiksi.
O, ya dalam hal ini kita juga ada baiknya memperhatikan situasi yang berkembang saat itu, bila kita akan megirimkan ke media massa atau penerbit. Seumpama pada saat itu sedang menggejala kenaikan hagra BBM kita bisa memberi konflik bahwa sang penjaja kue itu tidak mendapatkan tunjangan dari subsidi yang diberikan pemerintah atau semacamnya sehingga menjadi kontekstual dengan kejadian yang sedang berkembang. Untuk bisa diterima penerbit.